Judul buku: Centhini-Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan
Judul asli: Les Chants de lile a dormer debout le Livre de Centhini (Les Editions du Relies Gordes)
Penulis: Elizabeth D Inandiak
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta
Cetakan: I, tahun 2004
Tebal: xxv + 182 halaman
Pada awalnya saya berpikir Kisah Centhini itu sama dengan cerita Kamasutra, dalam pikiran saya waktu itu jika India mempunyai Kamasutra, maka tanah Jawa mempunyai Serat Centhini. Tetapi setelah membaca buku yang berjudul Centhini - Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, karya Elizabth D. Inandiak ini baru saya mengetahui bagaimana kisah dari serat Centhini ini.
Serat Centhini merupakan sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19 yang menggambarkan bagaimana agama islam berkembang di jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat Jawa. Suatu kisah yang menceritakan mengenai percampuran antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Dan Serat Centhini ini di tulis untuk di tembangkan, dalam sastra Jawa kuno, suara dianggap wahyu yang merasuki penyair untuk melahirkan irama mengiringi pujangga memasuki kata-kata dalam serat Centhini, sudah dapat di bayangkan betapa indahnya tembang ini. Terdapat 13 kisah yang di tembangkan dalam serat Centhini, yaitu :Silisilah, Perang, Pengembaraan, Minggatnya Cebolan, Terjadilah asmara, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, ia yang memikul raganya, buku ke IX, Alih rupa, Dendang awan mencarai Matahari, Pulau Besi, Termakan, Nafsu terakhir. Sebuah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosa kata yang paling kaya.
Buku Centhini - Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, karya Elizabth D. Inandiak ini tercipta atas prakarsa Mantan Dubes Perancis untuk Indonesia Thierry de Beauce, yang terpesona oleh kisah Centhini, Serat Centhini adalah salah satu karya terbesar dunia, namun belum di terjemahkan dalam bahasa apapun. Karena terpesona oleh kisah Centhini, Thierry de Beauce memutuskan bahwa kedutaan besar perancis di Indonesia akan membiayai sebuah saduran karya sastra besar yang terancam sirna itu, agar jangan sampai terlupakan dan kandungannya terwariskan dalam bahasa yang megah dan indah untuk di baca oleh dunia. Untuk itu maka di undanglah Elizabth D. Inandiak untuk merealisasikan keinginan tersebut, Elizabth D. Inandiak sendiri adalah seorang reporter asal perancis yang telah bekerja di berbagai penjuru dunia dan telah menghasilkan beberapa novel dan naskah film, Elizabth D. Inandiak sangat concern terhadap kebudayaan jawa dan telah tinggal di yogya selama 15 tahun. Serat Centhini yang asli mempunyai 400 halaman oleh Elizabth D. Inandiak menyadur menjadi 1000 halaman yang kemudian di translate ke dalam bahasa Indonesia kemudian Prancis. Tanpa mengurangi keindahan tembang aslinya, terciptalah buku yang luar biasa ini. Dan buku Buku Centhini - Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan ini merupakan buku pertama dari dua buah karya Elizabth D. Inandiak dalam saduran serat Centhini.
Tembang pertama bermula ketika Putra Mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat di pulau Jawa memerintahkan tiga pujangganya untuk menyusun suatu cerita kuno dalam bentuk tembang yang merangkum segala ilmu dan ngelmu jawa bahkan hingga seni hidup, agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran, dari kisah perjalanan itulah tercipta syair-syair indah yang berjudul Seluk Tembangraras, tetapi orang menyebutnya Serat Centhini. Centhini sendiri adalah nama seorang Pelayan yang penuh pengabdian, entah kenapa karya sastra Jawa ini di juluki nama seorang pelayan.
Untuk kisah Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan ini berkisah tentang putra mahkota sultan Giri yang bernama Amongraga dan istri nya Tambangraras yang melewatkan empat puluh malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Selama 40 malam Amongraga memberi pelajaran kepada Istri nya, terucap dalam syair-syair yang sangat indah...
Oh, Wangiku! seandainya kau berusahan mencari rasa di cakrawala, kau tidak akan menemukannya. Di atas bumi dan di bawah bentangan langit, tidak ada yang menyamainya. Rasa adalah manis di lidah, rabaan di kulit, bunyi di telinga, sari di sungsum, bau-bauan di hidung, makna di kepala, gerak di hati, penglihatan di mata..Rasa itulah rahasia yang di capkan Allah di kalbu. Karena rasa mengenali.
Terdapat pula syair-syair yang bersifat cabul, yang terangkai Indah oleh keanggunan tembangnya....
Amograga telanjang dan duduk besila di hadapan istrinya, di ujung seberang ranjang cukup jauh hingga ketelanjangannya tidak membuatnya was-was, namun cukup dekat agar Tambangraras dapat memperlihatkan bentuk lingganya setepat-tepatnya.
Di balik sekat berkerawang, Centhini menangkap desah Amongraga, dan engah Tambangraras, bulir-bulir peluh di tubuh mereka yang membara dan memenuhi kamar, tempias gerimis. Centhini berjaga, sebab ia di tugasi untuk mengabarkan koyaknya selaput dara agar segera disipakan jamu godogan hasil curian.
Ibu haruskah cinta diresmikan dengan noda ??
Di akhir tembang, di kisahkan kesedihan Amongraga yang harus meninggalkan istri tercinta untuk mencari saudara perempuan nya, di lukiskan dalam syair...
Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.
Bangga rasanya mengetahui Serat Centhini dapat di sejajarkan dengan karya sastra dunia lain nya, tapi sangat ironis kenapa malah pemerintah Perancis yang bersedia menduniakan karya sastra ini ?? kenapa tidak bagsa kita sendiri ???
.........di balik sekat berkerawang, Centhini merasakan malam di atas ranjang bidadari undur diri sebelum pudar...