Hari minggu kemaren abis baca salah satu artikel di Kompas yang berjudul menjadi tua di kelab. Di artikel itu diceritakan sekarang ini hang out di cafe or club sepulang kerja sudah menjadi gaya hidup buat Eksekutif muda di kota-kota besar. Jalanan macet dan letak perumahan di pinggir kota menjadikan para pekerja mikir-mikir dulu untuk langsung pulang sehabis bekerja. Apalagi kondisi cafe dibuat seyaman mungkin, dengan sofa-sofa yang empuk, karpet yang tebal, meja-meja bundar, alunan musik ringan seperti memindahkan ruangan keluarga kesana. Belum lagi menu-menu yang ditawarkan pengelola cafe, sayur lodeh dan tempe bacem berganti menjadi menu ala cafe.
Jadi inget cerita keluarga Budi di buku-buku pelajaran waktu jaman SD dulu, disana diceritakan kalau Bapak si Budi setelah bekerja seharian di kantor masih bisa menikmati secangkir teh dan pisang goreng buatan ibu di teras sambil membaca koran terbitan sore atau bercengkrama dengan anak-anaknya. Cerita Bapak si Budi ini bisa jadi cerminan para pekerja tempoe doloe waktu Jakarta masih lengang, waktu ongkos metromini masih seratus perak atau waktu pemerintah DKI belum kepikiran untuk membuat peraturan 3 in 1. Nah kalau sekarang ? boro-boro mau menikmati secangkir teh di sore hari bersama keluarga, ketemu keluarga aja mepet banget waktu nya. Rumah sekarang sudah menjadi tempat transit sementara atau tempat tidur dimalam hari saja. Gak tau siapa yang harus dipersalahkan dengan keadaan seperti ini atau memang gak ada yang harus di salahkan ? hanya akibat kemajuan jaman. Tapi walau bagaimana empuknya sofa di cafe, nikmatnya menu yang di sediakan, tetap saja tempat yang paling nyaman adalah rumah kita sendiri, bukannya ada istilah rumahku adalah istanaku ?? Dan inget satu lagi, Di rumah, keluarga tercinta sudah menunggu ....