<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d10868920\x26blogName\x3dFebi\x27s+Journal\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://jurnal-febi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://jurnal-febi.blogspot.com/\x26vt\x3d-3357453960751995629', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, December 16, 2005

Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam?

"KAPAN SEKOLAH KAMI LEBIH BAIK DARI KANDANG AYAM"
oleh Prof. Winarno Surahman.

Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan,
Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan.
Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu.
Tidak berhati.
Otonominya, kompetensinya, profesinya
hanya sepuhan pembungkus rasa getir,"
"Bolehkan kami bertanya,
apakah artinya bertugas mulia
ketika kami hanya terpinggirkan
tanpa ditanya, tanpa disapa?
Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap
yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?"
"Ketika semua orang menangis,
kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan,
kami harus tetap kelaparan?
Bolehkah kami bermimpi di dengar
ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap
dalam kondisi terburuk,"
"Sejuta batu nisan
guru tua yang terlupakan oleh sejarah.
Terbaca torehan darah kering:
Di sini berbaring seorang guru
semampu membaca buku usang
sambil belajar menahan lapar.
Hidup sebulan dengna gaji sehari.
Itulah nisan tua sejuta
guru tua yang terlupakan oleh sejarah,

Gara-gara mendengar puisi di atas, Bapak wakil presiden Jusuf Kala marah-marah, puisi tersebut di bacakan oleh bapak guru Winarno Surachman dalam rangka peringatan HUT Ke-60 PGRI di Solo. Janganlah kita semua mengejek-ejek bangsa ini. Bangsa ini perlu semangat membangun. Guru pembentuk jiwa dan semangat bangsa. Saya tidak suka itu. Masak guru besar seperti itu, katanya.
Aduh Pak Kenyataannya seperti itu kok. Terbayang wajah sedih Bapak Winarno ketika puisi nya menjadi sumber kemarahan bapak Wakil presiden, kalau dengan puisi saja para guru itu protes sudah di marahi, lalu harus dengan cara apalagi mereka mempertanyakan nasib mereka ?

Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? seperti nya kata-kata itu yang menbuat berang Bapak Jusuf Kalla, tidak percaya kalau di negeri tercinta kita ini memang ada sekolah-sekolah yang lebih buruk dari pada kandang ayam Pak ?

Membaca artikel tentang wakil presiden yang marah-marah itu, gue jadi ingat sebuah buku yang di ambil dari kisah nyata karya Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi, sebuah buku bagus yang bertutur tentang masa kecil dan dunia pendidikan khas Indonesia. Tepat nya berada di bagian sumatra paling timur: Melayu Belitung. Lengkap dengan kemelaratan, idealisme yang polos, alam yang liar. Di buku itu Andrea bertutur "kosen pintu itu miring, karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan rubuh, yang jika di senggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan. Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang sudah tua susah tegak menahan atap sirap yang berat, maka sekolah kami sangat mirip gudang Kopra". sebuah bentuk nyata dari dunia pendidikan kita di daerah pedalaman.

Pengalaman gue pribadi waktu ikut ayah tugas di daerah pedalaman sumatra, area hutan lebat yang di buka untuk lokasi Transmigrasi di tahun 80 an, itu sekolah satu-satu nya di sana, sebuah sekolah yang hanya terdiri dari 4 kelas berlantai tanah dengan jendela kawat, tidak ada barang berharga di sekolah itu jadi kalau malam tidak di kunci pun tidak apa-apa, bahkan poster berbingkai penguasa 32 tahun negeri ini juga tidak ada. Mungkin bendera merah putih yang melambai-lambai di atas tiang bambu di halaman sekolah satu-satu nya barang berharga di sekolah itu, sudah pudar pula warna bendera itu. Dan gue yakin sampai sekarang masih banyak sekolah-sekolah seperti ini di Indonesia, dan gak harus jauh-jauh ke pedalaman, di ibu kota Jakarta saja ada banyak.

Semoga dengan melihat kenyataan yang ada Wakil Presiden kita bisa bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi permasalahan ini, dengan emosi gue pikir tidak akan menyelesaikan permasalah. Mengingat pendidikan itu adalah modal utama untuk mencerdaskan bangsa, dari sekolah-sekolah kandang ayam itu lah akan lahir putra-putri bangsa, dokter, insinyur, ahli hukum, ekonomi, atau pejabat pemerintah, menteri, bahkan presiden dan wakil nya sekalipun. Semoga mereka akan menjadi putra-putri bangsa yang akan memajukan bangsa ini dari keterpurukan, yang akan bekerja secara profesional, disiplin, dan jujur, Pemimpin yang akan memperhatikan rakyat kecil, bukan orang-orang yang akan meng hancurkan negara ini dengan ketamakan dan mementingkan diri sendiri atau partai. Semoga....



0 Comments:

Post a Comment

<< Home